Minggu, 02 Maret 2014

Ketika Hukum Mengalahkan Arogansi Pemegang Kekuasaan


Ceritanya dua anggota Satlantas Polres Kupang, Aiptu Piet Ena dan Aipda Mess Nite, menghentikan perjalanan Gubernur NTT Frans Lebu Raya dan rombongannya, usai melakukan kunjungan kerja di wilayah Kabupaten Kupang, Kamis (10/12013). Penghentian dilakukan polisi saat gubernur melintasi Jalan Timor Raya di Noelbaki, karena kendaraan yang mengawalnya membunyikan sirene.
 Gubernur Frans Lebu Raya pun turun dari mobil dinasnya, lalu menghampiri dan menegur dua anggota Satlantas yang sedang bertugas.

"Pak Gubernur turun dari oto (mobil) dan tanya saya. Kamu tahu tidak saya Gubernur NTT, kenapa kalian tahan? Saya hanya bilang, kami tidak tahan bapak. Kami hentikan kendaraan yang mengawal bapak karena membunyikan sirene, dan itu melanggar aturan. Lalu Pak Gubernur bilang biarkan saya lewat, nanti saya sampaikan ke Kapolda," kata Piet menirukan ucapan gubernur. 
Hal senada disampaikan Aipda Mess Nite. Menurutnya, sekitar belasan mobil rombongan gubernur yang dihentikan. Bahkan, ada sebagian dari rombongan yang menendang papan rambu lalu lintas yang bertuliskan pemeriksaan kendaraan. Namun, keduanya mengaku prosedur yang dijalankan saat menghentikan kendaraan merujuk pada aturan lalu lintas, yakni UU Nomor 22 Tahun 2009.

Menanggapi kejadian ini, Kapolda NTT Brigjen Ricky Sitohang mengatakan, berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku, rombongan gubernur seharusnya dikawal oleh Polisi Lalu Lintas. 
Menurut Sitohang, itu diatur dalam UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (LLAJ). Dalam undang-undang itu dijelaskan, pengawalan terhadap kepala daerah seperti gubernur, wali kota, dan bupati, termasuk yang menggunakan konvoi voorijder dilakukan oleh polisi. 
"Tidak ada aturan Satpol PP kawal gubernur saat menggunakan jalan raya tanpa ada pengawalan polisi. Jangan bikin aturan sendiri, dan jangan salah kaprah terhadap UU. Seharusnya, rombongan Gubernur NTT dikawal oleh Polisi Lalu Lintas. Satpol PP bisa saja ada, tapi mereka ikut dari belakang," tutur Sitohang

Terhadap polisi yang 'menahan' voorijder sipil, Kapolda Sitohang memberikan apresiasi. "Polisi seharusnya seperti itu. Saat menegakkan aturan, polisi jangan takut karena dia dilindungi UU. Saya senang melihat polisi yang paham dan bertanggung jawab terhadap tupoksinya. Terima kasih kepada polisi yang sudah laksanakan tugasnya itu. Dia sangat luar biasa, dia tahu tupoksi," puji Sitohang. 
Dalam melaksanakan tugas, jelas Sitohang, polisi harus tegas, namun humanis. "Jangan arogan, jangan menunjukkan kekuasaan. Jalankan aturan perundangan dengan cara yang santun. Polisi jangan membentak-bentak, memaki-maki, apalagi menganiaya. Kalau polisi membiarkan terjadi pelanggaran lalu lintas, maka polisinya sontoloyo," bebernya.

Menyimak cerita ini, mungkin beberapa dari kita masih teringat kisah masa lalu saat seorang polantas bernama Brigadir Royadin yang menghentikan dan menilang mobil yang saat itu ditumpangi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. 
Ceritanya pada pertengahan 1960-an itu, Royadin bertugas di pos lantas yang seingatnya kalau tidak di pertigaan depan Stasiun Poncol Semarang, di Simpang Lima, ataupun daerah Jalan MT Haryono. Tiba-tiba Royadin melihat ada mobil melanggar jalan searah. Ia langsung mencegat. Ternyata pengemudinya orang yang sama sekali tidak asing. 
Royadin tersentak, tapi ia tetap memilih menilang orang besar itu. Sultan HB IX menurut Royadin tidak marah dan memberikan surat-surat kelengkapan yang diminta sesuai peraturan. Berikut nukilan ceritanya yang membuat saya terharu, kagum sekaligus bangga dengan figur seorang pemimpin Yogyakarta.


Ketika Sri Sultan HB IX Ditilang Seorang Polantas

Becak dan delman amat dominan masa itu , persimpangan Soko mulai riuh dengan bunyi kalung kuda yang terangguk angguk mengikuti ayunan cemeti sang kusir. Dari arah selatan dan membelok ke barat sebuah sedan hitam ber plat AB melaju dari arah yang berlawanan dengan arus becak dan delman. 
Brigadir Royadin memandang dari kejauhan, sementara sedan hitam itu melaju perlahan menuju kearahnya. Dengan sigap ia menyeberang jalan ditepi posnya, ayunan tangan kedepan dengan posisi membentuk sudut Sembilan puluh derajat menghentikan laju sedan hitam itu. Sebuah sedan tahun lima puluhan yang amat jarang berlalu di jalanan pekalongan berhenti dihadapannya.

Saat mobil menepi, brigadir Royadin menghampiri sisi kanan pengemudi dan memberi hormat. "Selamat pagi!" Brigadir Royadin memberi hormat dengan sikap sempurna. 
"Boleh ditunjukan rebuwes?" Ia meminta surat-surat mobil berikut surat ijin mengemudi kepada lelaki di balik kaca, jaman itu surat mobil masih diistilahkan rebuwes.

Perlahan, pria berusia sekitar setengah abad menurunkan kaca samping secara penuh. "Ada apa pak polisi?" Tanya pria itu. 
Brigadir Royadin tersentak kaget, ia mengenali siapa pria itu. "Ya Allah…sinuwun!" kejutnya dalam hati. Gugup bukan main namun itu hanya berlangsung sedetik, naluri polisinya tetap menopang tubuh gagahnya dalam sikap sempurna.

"Bapak melangar verbodden , tidak boleh lewat sini, ini satu arah!" Ia memandangi pria itu yang tak lain adalah Sultan Jogja, Sri Sultan Hamengkubuwono IX. 
Dirinya tak habis pikir, orang sebesar sultan HB IX mengendarai sendiri mobilnya dari jogja ke pekalongan yang jauhnya cukup lumayan.

Setelah melihat rebuwes, Brigadir Royadin mempersilahkan Sri Sultan untuk mengecek tanda larangan verboden di ujung jalan, namun sultan menolak. "Ya.. saya salah, kamu benar, saya pasti salah!" Sinuwun turun dari sedannya dan menghampiri Brigadir Royadin yang tetap menggenggam rebuwes tanpa tahu harus berbuat apa.

"Jadi…?" Sinuwun bertanya, pertanyaan yang singkat namun sulit bagi brigadir Royadin menjawabnya.
"Em..emm ..bapak saya tilang, mohon maaf!" Brigadir Royadin heran, sinuwun tak kunjung menggunakan kekuasaannya untuk paling tidak bernegosiasi dengannya, jangankan begitu, mengenalkan dirinya sebagai pejabat Negara dan Rajapun beliau tidak melakukannya.

"Baik..brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya, saya harus segera ke Tegal!" Sinuwun meminta brigadir Royadin untuk segera membuatkan surat tilang. 
Dengan tangan bergetar ia membuatkan surat tilang, ingin rasanya tidak memberikan surat itu tapi tidak tahu kenapa ia sebagai polisi tidak boleh memandang beda pelanggar kesalahan yang terjadi di hadapannya. 
Yang paling membuatnya sedikit tenang adalah tidak sepatah katapun yang keluar dari mulut sinuwun menyebutkan bahwa dia berhak mendapatkan dispensasi. "Sungguh orang yang besar…!" begitu gumamnya.

Surat tilang berpindah tangan, rebuwes saat itu dalam genggamannya dan ia menghormat pada sinuwun sebelum sinuwun kembali memacu Sedan hitamnya menuju ke arah barat, Tegal. 
Beberapa menit sinuwun melintas di depan stasiun pekalongan, brigadir royadin menyadari kebodohannya, kekakuannya dan segala macam pikiran berkecamuk. Ingin ia memacu sepeda ontelnya mengejar Sedan hitam itu tapi manalah mungkin. Nasi sudah menjadi bubur dan ketetapan hatinya untuk tetap menegakkan peraturan pada siapapun berhasil menghibur dirinya.

Saat aplusan di sore hari dan kembali ke markas, Ia menyerahkan rebuwes kepada petugas jaga untuk diproses hukum lebih lanjut, lalu kembali kerumah dengan sepeda abu-abu tuanya. 
Saat apel pagi esok harinya, suara amarah meledak di markas polisi pekalongan, nama Royadin diteriakkan berkali-kali dari ruang komisaris. Beberapa polisi tergopoh-gopoh menghampirinya dan memintanya menghadap komisaris polisi selaku kepala kantor.

"Royadin, apa yang kamu lakukan, sa'enake dewe, ora mikir, iki sing mbok tangkep sopo heh..ngawur..ngawur!" Komisaris mengumpat dalam bahasa jawa, ditangannya rebuwes milik sinuwun pindah dari telapak kanan kekiri bolak balik.

"Sekarang aku mau tanya, kenapa kamu tidak lepas saja sinuwun, biarkan lewat, wong kamu tahu siapa dia, ngerti nggak kowe sopo sinuwun?" Komisaris tak menurunkan nada bicaranya. 
"Siap pak, beliau tidak bilang beliau itu siapa, beliau ngaku salah dan memang salah!" brigadir Royadin menjawab tegas.

"Ya tapi kan kamu mestinya ngerti siapa dia, ojo kaku kaku, kok malah mbok tilang, ngawur, jan ngawur. Ini bisa panjang, bisa sampai Menteri!" Derai komisaris. Saat itu kepala polisi dijabat oleh Menteri Kepolisian Negara.

Brigadir Royadin pasrah, apapun yang dia lakukan dasarnya adalah posisinya sebagai polisi, yang disumpah untuk menegakkan peraturan pada siapa saja, memang keras kepala kedengarannya. 
Kepala polisi pekalongan berusaha mencari tahu dimana gerangan sinuwun, masih di Tegal kah atau tempat lain? Tujuannya cuma satu, mengembalikan rebuwes. Namun tidak seperti saat ini yang demikian mudahnya bertukar kabar, keberadaa sinuwun tak kunjung diketahui hingga beberapa hari. 
Pada akhirnya kepala polisi pekalongan mengutus beberapa petugas ke Jogja untuk mengembalikan rebuwes tanpa mengikut sertakan Brigadir Royadin.

Usai mendapat marah, Brigadir Royadin bertugas seperti biasa, satu minggu setelah kejadian penilangan, banyak teman-temannya yang mentertawakan bahkan ada isu yang ia dengar dirinya akan dimutasi ke pinggiran kota pekalongan selatan.

Suatu sore, saat belum habis jam dinas, seorang kurir datang menghampirinya di persimpangan soko yang memintanya untuk segera kembali ke kantor. Sesampai di kantor beberapa polisi menggiringnya keruang komisaris yang saat itu tengah menggenggam selembar surat.

"Royadin, minggu depan kamu diminta pindah!" lemas tubuh Royadin, ia membayangkan harus menempuh jalan menanjak dipinggir kota pekalongan setiap hari, karena mutasi ini, karena ketegasan sikapnya dipersimpangan soko.

"Siap pak!" Royadin menjawab datar. 
"Bersama keluargamu semua, dibawa!" pernyataan komisaris mengejutkan, untuk apa bawa keluarga ke tepi pekalongan selatan, ini hanya merepotkan diri saja.

"Saya sanggup setiap hari pakai sepeda pak komandan, semua keluarga biar tetap di rumah sekarang!" Brigadir Royadin menawar.

"Ngawur, kamu sanggup bersepeda Pekalongan - Jogja? Pindahmu itu ke Jogja bukan disini, sinuwun yang minta kamu pindah tugas kesana, pangkatmu mau dinaikkan satu tingkat!" Cetus pak komisaris, disodorkan surat yang ada digenggamannya kepada brigadir Royadin.

Surat itu berisi permintaan bertuliskan tangan dari Sri Sultan HB IX yang intinya :

"Mohon dipindahkan brigadir Royadin ke Jogja, sebagai polisi yang tegas saya selaku pemimpin Jogjakarta akan menempatkannya di wilayah Jogjakarta bersama keluarganya dengan meminta kepolisian untuk menaikkan pangkatnya satu tingkat!” Ditanda tangani Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Tangan brigadir Royadin bergetar, namun ia segera menemukan jawabannya. Ia tak sanggup menolak permintaan orang besar seperti Sultan HB IX, namun dia juga harus mempertimbangkan seluruh hidupnya di kota Pekalongan. Ia cinta Pekalongan dan tak ingin meninggalkan kota ini.

"Mohon bapak sampaikan ke sinuwun, saya berterima kasih, saya tidak bisa pindah dari pekalongan, ini tanah kelahiran saya, rumah saya. Sampaikan hormat saya pada beliau dan sampaikan permintaan maaf saya pada beliau atas kelancangan saya!"

Brigadir Royadin bergetar, ia tak memahami betapa luasnya hati sinuwun Sultan HB IX, amarah hanya diperolehnya dari sang komisaris namun penghargaan tinggi justru datang dari orang yang menjadi korban ketegasannya.


Kalau kita membaca dua kisah yang berbeda ini yaitu "Kisah Dua Polantas yang Menghentikan Iring-Iringan Mobil Gubernur NTT" dan kisah "Brigadir Royadin yang Menilang Sri Sultan HB IX" maka terlihat jelas perbedaan sikap meskipun kedua subyeknya sama-sama Gubernur. 
Gubernur NTT melalui ucapannya bisa disimpulkan mewakili figur penguasa masa modern dengan segala arogansinya, sedangkan sikap yang dilakukan oleh Sultan HB IX mencerminkan figur seorang pemimpin rakyat yang patut dicontoh dan dikenang sepanjang masa. 
Dan apa yang di lakukan Brigadir Royadin telah memberi contoh yang harus diteladani. Bagaimana seorang Polisi bersikap dan berani bertindak menegakkan peraturan tanpa kompromi siapa yang melanggar.
Sumber :
kaskus

Selasa, 25 Februari 2014

TUGAS PAPER ILMU NEGARA SISTEM PERWAKILAN RAKYAT DI INDONESIA



LEMBAGA PERWAKILAN RAKYAT
DI INDONESIA
Oleh: Muhammad Heri Muliadi

Lembaga Perwakilan Rakyat menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksa Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara adalah Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan/atau Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum perubahan UUD 1945, Indonesia memiliki kedudukan MPR merupakan lembaga tertinggi negara dan melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Perwakilan dalam MPR terdiri dari tiga pilar perwakilan yaitu perwakilan politik  para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih dalam pemilihan umum, perwakilan fungsional yang terdiri dari para utusan golongan dan perwakilan kedaerahan  yaitu para utusan daerah. Oleh sebab  itu, MPR dapat diartikan sebagai perwakilan dan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia karena terdiri dari tiga pilar tersebut . Akan tetapi Majelis Permusyawaratn Rakyat sebagai lembaga perwakilan rakyat tidak memiliki wewenang sebagai lembaga pembentuk undang-undang dan wewenang MPR sebagai pembentuk UUD termasuk melakukan perubahan sebagai lembaga konstituante. Sedangkan lembaga perwakilan yang memiliki kewenangan membentuk undang-undang itu dalam ketatanegaraan Indonesia adalah DPR bersama Presiden.
Setelah perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonseia Tahun 1945 (UUD 1945), lembaga perwakilan rakyat pada tingkat pusat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar. Sebelum perubahan lembaga perwakilan rakyat terdiri dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menganut sistem bikameralisme, sedangkan setelah perubahan menjadi tiga lembaga perwakilan yang dikenal dengan trikameralisme yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sedangkan jika melihat hanya DPR dan DPD maka kedua lembaga perwakilan ini merupakan bentuk sistem bikameral akan tetapi bukan sistem bikameral yang murni (strong bicameral). Selain lembaga perwakilan yang ada di tingkat pusat kita mengenal juga dengan lembaga perwakilan rakyat di tingkat daerah baik sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945 tidak mengalami perubahan yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten dan Kota.
Sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945, Perubahan yang terjadi tidak saja pada jumlah lembaga perwakilan rakyat yang dari bikameralisme menjadi trikameralisme akan tetapi banyak sekali perubahnnya, yaitu perubahan pada susunan dan kedudukannya, kewenangannya serta mekanisme pengisian jabatannya. Perubahan ini membawa implikasi yang sangat luas dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, baik dalam hubungannya dengan lembaga-lembaga negara yang lainnya dalam melaksanakan fungsi dan kewenangannya dalam ketatanegaraan Indonesia, maupun bagi perkembangan negara demokrasi modern. Walaupun sama-sama merupakan lembaga perwakilan rakyat, ketiga lembaga tersebut memiliki fungsi yang berbeda serta keterwakilan (representasi) yang berbeda pula. Dari pembahasan di atas terdapat beberapa permasalahan saya bahas dalam paper ini yaitu : Membandingkan lembaga perwakilan rakyat sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945, Perubahan-perubahan apa saja yang dilakukan terhadap sistem perwakilan dalam ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD 1945, dari sisi kelembagaan, kedudukan dan kewenangan, mekanisme pengisian jabatan serta hubungannnya dengan lembaga negara yang lainnya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
A. Sistem Perwakilan Rakyat Sebelum Perubahan UUD 1945
Sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia telah  dipergunakan tiga undang-undang dasar, yaitu, Undang-Undang Dasar 1945 pada periode pertama 18 Agustus 1945 sampai 28 Oktober 1949 , Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang menngunakan sistem parlamenter Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dari tanggal 17 Agustus 1950 sampai 4 Juli 1959 dan kembali lagi ke Undang-Undang Dasar 1945 dari5 Juli 1959 sampai Oktober tahun 1999.
Pada periode pertama, berlakunya UUD 1945 sangat singkat dengan menggunakan sistem pemerintahan berdasar undang-unang dasar tersebut. Namun tidak bisa berjalan baik karena masa revolusi dan perang kemerdekaan. Kabinet pertama yang terbentuk berdasar undang-undang dasar 1945 adalah kabinet kuasi Presidensiil yang dibentuk pada tanggal 2 Sptember 1945 Baru dua bulan kabinet terbentuk, keluarlah Maklumat Wakil Presiden Nonor X Tahun 1945, yaitu penyerahan kekuasaan legislatif dari MPR dan DPR kepada Komite Nasional Pusat (KNIP) sebelum MPR dan DPR terbentuk, dan pembentukan Badan Pekerja KNIP. Atas usul Badan Pekerja KNIP tanggal 11 November 1945 dikeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang berisi perubahan sistem pemerintahan menjadi sistem Parlementer.
Pada saat berlakunya Konstitusi RIS, dimana negara Indonesia berubah menjadi Negara Serikat, menerapkan sistem pemerintahan parlementer. Demikian juga pada masa berlakunya UUDS 1950 juga menerapkan sistem pemerintahan parlementer, yaitu kabinet dipimpin oleh Perdana Menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen.
Setelah kembali pada UUD 1945 dengan Dektrit Presiden 5 Juli 1959, berlakulah kembali UUD 1945, yang dalam perkembangan praktek pemerintahan selanjutnya terjadi berbagai penyimpangan dari ketentuan undang-undang dasar antara lain dengan sistem demokrasi terpimpin pada masa Orde Lama dan menjadikan Presiden Soekarno sangat berkuasa dan menjadi Presiden seumur hidup. Pada masa Orde Baru Presiden Soeharto merubahnya menjadi demokrasi Pancasila namun pada akhirnya juga tidak berjalan dengan baik.
Untuk mengetahui sistem pemerintahan yang dinaut UUD 1945, perlu memperhatikan penjelasan UUD 1945 yang menguraikan secara singkat sistem penyelenggaraan kekuasaan negara yang dianut oleh undang-undang dasar tersebut. Dalam penjelasan itu diuraikan tentang sistem pemerintahan negara yang terdiri dari tujuh prinsip pokok, yaitu sebagai berikut :
Prinsip negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) bukan atas kekuasaan belaka (machtstaat) dan prinsip sistem konstitusinal (berdasarkan atas konstitusi) tidak berdasar atas absolutisme. Prinsip selanjutnya adalah kekuasaan negara tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Penjelasan UUD 1945 menerangkan bahwa kedaulatan dipegang oleh suatu badan, bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Majelis ini menetapkan UUD dan garis-garis besar haluan negara, mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Presiden. Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah mandatris dari Majelis. Presiden tidak “neben” tetapi “untergeordnet” kepada Majelis. MPR adalah Lembaga Tertinggi Negara (TAP MPR NO. III/1978), sedangkan lembaga negara yang lainnya adalah merupakan Lembaga Tinggi Negara dan Presiden memegang posisi sentral karena dialah mandataris MPR.
Prinsip selanjutnnya, Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara tertinggi di bawah Majelis. Penjelasan UUD 1945 menguraikan bahwa dibawah MPR, Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dalam menjalankan pemerintahan negara. Kekuasaan dan tanggung jawab adalah ditangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the presiden). Presiden adalah mandataris MPR, dia tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Dengan posisi madataris itulah Presiden memiliki diskresi kekuasaan dan kewenangan yang sangat besar. Disamping memegang kekuasaan eksekutif (executive power), Presiden juga sekaligus memegang kekuasaan legisltaf (legislative power). Meskipun demikian ditegaskan bahwa kekuasaan Presiden sebagai kepala negara tidak tak terbatas. Presiden senantiasa dapat diawasi oleh DPR, dan Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. Karena itu Presiden harus dapat bekerja bersama-sama dengan DPR, akan tetapi Presiden tidak bertanggungjawab kepada DPR.
Menteri-menteri negara adalah pembantu Presiden dan tidak bertanggung jawab kepada DPR. Karena itu kedudukan menteri-menteri negara tidak tergantung DPR akan tetapi tergantung Presiden. Meskipun mereka adalah pembantu Presiden, tetapi Menteri-menteri negara bukan pegawai tinggi biasa, karena menteri-menteri itulah yang menjalankan kekuasaan pemerintah dalam praktek. Menteri-menteri negara memimpin departemen.
Lebih lanjut, penjelasan UUD 1945 menguarikan bahwa kedudukan DPR adalah kuat. Disamping Presiden adalan Dewan Perwakilan Rakyat. DPR tidak dapat dibubarkan oleh Presiden. Setiap saat DPR dapat mengawasi Presiden, dan jika dalam pengawasan itu DPR menemukan bahwa Presiden telah melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau yang telah ditetapkan oleh MPR, maka MPR dapat diundang untuk mengadakan persidangan istimewa agar bisa minta pertanggungan jawab kepada Presiden.
Kewenangan DPR yang diatur dalam UUD 1945 sangat minim, yaitu memberi persetujuan atas undang-undang yang dibentuk Presiden (pasal 20 ayat 1 dan 2 jo pasal 5), memberi persetujuan atas PERPU (pasal 22), memberi persetujuan atas anggaran (pasal 23) dan persetujuan atas pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian dengan negara lain yang dilakukan oleh Presiden. Kewenangan DPR untuk mengawasi pemerintah/Presiden dan kewenangan untuk meminta MPR mengadakan sidang istimewa untuk meminta pertanggungan jawab Presiden (fungsi kontrol) hanya diterangkan dalam penjelasan.
Demikianlah sistem perwakilan Rakyat menurut UUD 1945 sebelum perubahan. Dalam sistem seperti ini MPR merupakan lembaga negara terpenting karena lembaga ini adalah penjelmaan seluruh rakyat. Setelah itu adalah Presiden, karena Presiden adalah “mandataris” MPR. Dengan demikian kelembagaan negara dalam sistem pemerintahan ini terstruktur, yaitu MPR memegang kekuasaan negara tertinggi sebagai sumber kekuasaan negara dan dibawahnya adalah Presiden sebagai penyelenggara kekuasaan pemerintahan yang tertinggi di bawah MPR. Sistem seperti ini tidak menganut prinsip check and balances, dan tidak mengatur pembatasan yang tegas penyelenggaraan kekuasaan negara antara lembaga negara. Karena kelemahan inilah dalam praktek ketatanegaraan Indonesia banyak disalahgunakan dan ditafsirkan sesuai kehendak siapa yang memegang kekuasaan.
 Sebelum perubahan khususnya MPR memiliki kewenangan yang sangat besar, yaitu sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat dan dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Dalam sistem perwakilan itu sendiri terbagi dalam dua lembaga yaitu, pertama; MPR memiliki kewenangan sangat besar yang anggotanya terdiri anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan utusan golongan , dan kedua; DPR, yang memiliki kewenangan hanya dalam bidang membahas dan menyetujui rancangan undang-undang, rancangan Anggaran Belanja Negara dan melakukan pengawasan terhadap pemerintah.[1]
B. Sistem Perwakilan Rakyat Sesudah Perubahan UUD 1945
Perubahan UUD 1945 membawa perubahan yang cukup mendasar mengenai sistem perwakilan dalam ketatanegaraan Indonesia. Paling tidak ada tigak aspek mendasar mengenai lembaga perwakilan rakyat setelah perubahan UUD 1945, yaitu; mengenai struktur kelembagaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, fungsi dan kewenangannya serta pengisian anggota lembaga perwakilan.
Ada tiga lembaga perwakilan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sesudah perubahan UUD 1945 yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. MPR memiliki fungsi yang sama sekali berbeda dengan DPR dan DPD, sedangkan DPR dan DPD sendiri memiliki fungsi yang hampir sama, hanya saja DPD memiliki fungsi dan peran yang sangat terbatas. Jika dilihat dari jumlah lembaga perwakilan rakyat maka sistem perwakilan yang dianut bukanlah sistem bikameral karena ada tiga lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan jika melihat hanya DPR dan DPD maka kedua lembaga perwakilan ini merupakan bentuk sistem bikameral akan tetapi bukan sistem bikameral yang murni (strong bicameral). Keanggotaan DPR adalah representasi rakyat di seluruh Indonesia secara proporsional melalui partai politik (political representation) dan DPD sebagai representasi dari daerah (daerah provinsi) dari seluruh Indonesia (regional representation) memiliki posisi yang sama sebagaimana tercermin dalam jumlah anggota DPD yang sama banyaknya dari setiap provinsi. Disini akan membahas mengenai format baru parlemen tiga kamar DPR, DPD dan MPR
1.Majelis Permusyawaratan Rakyat
            Setelah perubahan Keempat UUD 1945, keberadaan MPR yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi negara itu memang telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi keadaannya tetap ada sehingga sistem yang kita anut tidak dapat disebut bicameral ataupun satu kamar, melainkan trikameralisme, perubahan-perubahan mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia itu memang telah terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut. Pertama, susunan keanggotaan MPR berubah secara structural karena dihapuskannya keberadaan utusan golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional dari unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mencerminkan prinsip perwakilan politik dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan daerah. Kedua, bersamaan dengan perubahan yang bersifat structural tersebut, fungsi MPR juga mengalami perubahan mendasar. Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai lembaga yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa control, dank arena itu kewenangannya pun mengalami perubahan-perubahan mendasar. Sebelum diadakannya perubahan UUD, MPR memiliki 6 kewenangan yaitu :
     (a)    Menetapkan UUD dan Mengubah UUD
     (b)   Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara
     (c)    Memilih Presiden dan Wakil Presiden\
     (d)   Meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden.
     (e)    Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden
Sekarang setelah diadakannya perubahan UUD 1945, kewenangan MPR berubah menjadi :
    (a)    Menetapkan UUD dan/atau Perubahan UUD
    (b)   Melantik Presiden dan Wakil Presiden
    (c)    Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta
   (d)   Menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya Presiden pengganti sampai   terpilihnya Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya.
Ketiga, diadopsi prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas antara fungsi legislative dan eksekutif dalam perubahan pasal 5 ayat (1) juncto pasal 20 ayat (1) dalam perubahan pertama UUD 1945 yang dipertegas lagi dengan tambahan pasal 20 ayat (5) perubahan kedua UUD 1945. Dalam perubahn-perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan membentuk Undang-Undang berada di tangan DPR, meskipun Presiden sebagai kepal pemerintahan eksekutif tetap diakui haknya untuk mengajukan sesuatu rancangan Undang-Undang. Dengan perubahan ini berarti UUD 1945 tidak lagi menganut sistem MPR berdasarkan prinsip “Supremasi Parlemen” dan sistem pembagian kekuasaan oleh lembaga tertinggi MPR ke lembaga-lembaga negara dibawahnya. Keempat, diadopsinya prinsip pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket secara langsung oleh rakyat dalam ketentuan pasal 6A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 yang sekaligus dimaksud untuk memperkuat dan mempertegas anutan sistem pemerintahan presidensial dalam UUD 1945.  Dengan sistem pemilihan langsung oelh rakyat itu, maka konsep dan sistem pertanggungjawaban Presiden tidak lagi dilakukan kepada MPR, tetapi juga langsung kepada rakyat. Oleh karena itu , dapat dikatakan bahwa dalam hubungannya dengan pengorganisasian kedaulatan rakyat, kedaulatan yang ada ditangan rakyat itu, sepanjang menyangkut fungsi legislative, dilakukan oleh MPR. Namun seperti dikemukakan, lembaga MPR pada pokoknya menurut ketentuan UUD 1945 paska perubahan Keempat tetap berdiri sendiri di samping DPR dan DPD.
2.Dewan Perwakilan Rakyat
Berdasarkan ketentuan UUD 1945 paska Perubahan Keempat, fungsi legislative berpusat di tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini jelas terlihat dalam rumusan pasal 20 ayat (1) yang baru menyatakan DPR memiliki kekuasaan membentuk undang-undang menunjukkan adanya semangat untuk memperkuat posisi DPR sebagai lembaga legislatif. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.  Bandingkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi, “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 5 ayat (1) ini sebelum Perubahan Pertama tahun 1999 berbunyi, “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.  Kedua pasal tersebut setelah Perubahan Pertama tahun 1999, berubah drastis sehingga mengalihkan pelaku kekuasaan legislatif atau kekuasaan pembentukan undang-undang itu dari tangan Presiden ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di samping itu, menurut ketentuan Pasal 21 UUD 1945, setiap anggota DPR berhak pula mengajukan usul rancangan undang-undang yang syarat-syarat dan tatacaranya diatur dalam peraturan tata tertib.
Disamping itu DPR memiliki fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Fungsi anggaran terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR untuk menyetujui atau tidak menyetujui anggaran yang diajukan oleh pemerintah. Disinilah keterlibatan DPR dalam administrasi pemerintahan, yaitu mengontrol agenda kerja dan program pemerintahan yang terkait dengan perencanaan dan penggunaan anggaran negara. Dalam melakukan fungsi pengawasan DPR diberikan hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat, serta hak yang dimiliki oleh setiap anggota DPR secara perorangan yaitu hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan perndapat serta hak imunitas.
Jadi dapat dipahami DPR adalah lembaga legislasi dan legislator, Kedua Presiden adalah lembaga yang mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah mendapat persetujuan bersama dalam rapat paripurna DPR resmi sah menjadi undang-undang, Ketiga RUU yang telah resmi sah menjadi undang-undang wajib diundangkan sebagaimana mestinya, Keempat, setiap rancangan undang-undang dibahas bersama untuk mendapat perstujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam persidangan DPR, Keliama dalam hal rancangan undang-undang itu datang dari presiden, maka seperti terhadap rancangan undang-undang inisiatif DPR, pembahasannya pun dilakukan secara bersama-sama untuk mendapatkan persutujuan bersama. Keenam, setelah suatu rancangan undang-undang mendapat persetujuan bersama yang ditandai oleh pengesahannya dalam rapat paripurna DPR, maka rancangan undang-undang yang bersangkutan secara substantive atau secara material telah menjadi undang-undang, tetapi belum mengikat umum karena belum disahkan  oleh Presiden serta diundangkan sebagaima mestinya.
3.Dewan Perwakilan Daerah
Dewan Perwakilan Daerah  dibentuk melalui perubahan ketiga UUD 1945 pada November 2001. Sejak perubahan itu, sistem perwakilan dan parlemen di Indonesia berubah dari sebelumnya sistem unikameral menjadi sistem bikameral. Kehadiran DPD saat itu seiring bergulirnya pelaksanaan desentralisasi versi UU 22/1999 yang mulai diberlakukan Januari 2001. Momen itu dikenal sebagai awal Era Otonomi Daerah versi Reformasi.
DPD lahir untuk memperkuat otonomi daerah (desentralisasi). Sentralisasi dan dominasi eksekutif penyelenggaraan kekuasaan negara terbukti menimbulkan disparitas sosial ekonomi antara pusat dan daerah. Segala kebijakan terkait daerah ditentukan pemerintah pusat. Akibatnya, banyak kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah. Berbagai bentuk penyeragaman terbukti memandulkan inovasi dan kreativitas daerah untuk berkembang. Dengan struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem “double-check” yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas. Yang satu merupakan cerminan representasi politik di DPR (political representation), sedangkan yang lain mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional (regional representation) di DPD.
Akan tetapi, ide bikameralisme atau struktur parlemen dua kamar itu mendapat tentangan yang keras dari kelompok konservatif di Panitia Ad Hoc Perubahan UUD 1945 di MPR 1999-2002, sehingga yang disepakati adalah rumusan yang sekarang yang tidak dapat disebut menganut sistem bikmaeral sama sekali. Dalam ketentuan UUD 1945 dewasa ini, jelas terlihat bahwa DPD tidaklah mempunyai kewenangan membentuk undang-undang. DPD juga tidak mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan fungsi pengawasan. Karena itu, kedudukannya hanya bersifat penunjang atau ‘auxiliary’ terhadap fungsi DPR, sehingga DPD paling jauh hanya dapat disebut sebagai ‘co-legislator’, dari pada ‘legislator’ yang sepenuhnya.
Menurut ketentuan Pasal 22D UUD 1945, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mempunyai beberapa kewenangan sebagai berikut:
(a)    DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
 (b)     Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;  pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta
(c)       Memberikan  pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara, rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, rancangan undang-undang yang berkait dengan pendidikan, dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan agama.
 (d)     Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dapat melakukan pengawasan (kontrol) atas Pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran dan belanja negara; pajak, pendidikan, dan agama, serta  menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
            Dengan demikian, jelaslah bahwa fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu hanyalah sebagai ‘co-legislator’ di samping Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sifat tugasnya hanya menunjang (auxiliary agency) terhadap tugas-tugas konstitusional DPR. Dalam proses pembentukan suatu undang-undang atau legislasi, DPD tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan atau berperan dalam proses pengambilan keputusan sama sekali. Padahal, persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPD jauh lebih berat daripada persyaratan dukungan untuk menjadi anggota DPR. Artinya, kualitas legitimasi anggota DPD itu sama sekali tidak diimbangi secara sepadan oleh kualitas kewenangannya sebagai wakil rakyat daerah (regional representatives).
            Dalam Pasal 22C diatur bahwa:
(1)               Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi mealui pemilihan umum.
(2)           Anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
(3)               DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.
(4)               Susunan dan kedudukan DPD diatur dengan undang-undang.
                 Seperti halnya, anggota DPR, maka menurut ketentuan Pasal 22D ayat (4), “Anggota DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang”.Bagi para anggota DPD, kewenangan-kewenangan yang dirumuskan di atas tentu kurang memadai. Karena wewenang DPD sangat terbatas sekali berbeda dengan DPR yang banyak memiliki wewenang.